12 August 2010

9 (Sembilan) Hal yang Tidak Membatalkan Puasa

Beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai batal nya puasa namun sesungguhnya tidak demikian, seperti makan dan minum karena lupa, mincicipi masakan.. simak selengkapnya.

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.

Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)

(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).

Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)

Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:

“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:

a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.

b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.

c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).

Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:

Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

… يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي …

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ

Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab.

sumber http://asysyariah.com, Penulis: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa.

Disalin dari : http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/08/21/9-sembilan-hal-yang-tidak-membatalkan-puasa/

Jumlah Raka’at dalam Shalat Tarawih

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Barangsiapa yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai maka dicatat baginya seperti shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah, Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380).

Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari

تَرْوِيْحَةٌ

yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Dan تَرْوِيْحَةٌ

pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.

Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Dasar pendapat pertama:

1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi ), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)

• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu ‘anhum ‘ajma’in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:

Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit , sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:

• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.

Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih

Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً …

Tidaklah (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar , dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:

1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu ‘anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ

Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wassallam). Wallahu a’lam

Sumber http://asysyariah.com, Penulis: al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih.

Disalin dari : http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/08/21/jumlah-rakaat-dalam-shalat-tarawih/

05 August 2010

Doaku Sepanjang Hidupmu..!

Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.

Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.

Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.

Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.

Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)

Dalam ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang, walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)

Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak mereka dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:

وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ

Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 42)

Namun apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh gelombang air bah yang datang:

قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ

Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)

Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:

وَنَادَى نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ

Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)

Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.

Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)

Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan melindungi seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka. Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)

Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)

Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا

Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)

Nabiyullah Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:

فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)

Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il ‘alaihissalam beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi Baitullah:

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ

Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)

Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam memohon:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)

Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang membinasakan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:

نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا

Turun ayat ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)

Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ

Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menggendong Al-Hasan di atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan anak-anak para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang luas kepadanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai) beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu (bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah, berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di kalangan shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih belia. (Fathul Bari, 7/127)

Dalam kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu ‘anha, ibu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang begitu besar keinginannya agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di situ hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no. 2481)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)

Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)

Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian atau bahkan doa kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mendoakan kejelekan terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ

Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no. 3009)

Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah, terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakanmu!’ atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)

Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat kelak. Na’udzu billahi min dzalik!

Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak kita Allah Subhanahu wa Ta’ala-­lah yang memberikannya. Hingga semestinya pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka. Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab.

Dikutip dari: http://www.asysyariah.com, Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran, Judul: Doaku Sepanjang Hidupmu

Disalin dari : http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/06/15/doaku-sepanjang-hidupmu/


MARHABAN YA RAMADHAN......

Marhaban ya Ramadhan....
Ramadhan tinggal beberapa hari lagi....
tak ada salahnya lewat blog ini, saya mengucapkan...
Marhaban ya Ramadhan....Mohon Maaf Lahir dan Batin...
Semoga di Ramadhan ini kita mendapatkan baroqah Allah SWT...amin...

Sebait doa meluncur dari mulutku :

Yaa Allah....berikanlah AmpunanMu kepada kami...
dekatkanlah SurgaMu....
satukanlah kami bersama Nabi dan RasulMu dalam wanginya Surga...
tuntunlah kami ke jalanMu yg lurus dan terang...
ringankanlah langkah kami...
mudahkanlah urusan kami...
Yaa Rabbi, Yaa Rahman, Yaa Rokhim....
Amin...amin...amin...yaa robbal'alamin...

21 May 2010

Ngreyen Speedy 3MBPS...!!!







Wooowwww.......................cuma itu yg keluar dari bibir.....

Hari ini ngreyen Speedy dgn speed 3MBPS ruaarrr biasaaa kuenceng......
Streaming youtube tanpa sendat-sendat....lancaaarrr boooo.....
Tapi ini baru 1 user.....
Ntar kalo udah di-share ke seluruh unit PC yg ada di kantor, jadi lelet gak ya ???
Apalagi beberapa user biasa nge-net nyedot bandwith guedeeee....
Auu ahh...lap.....
Yaren aja pada nyedot gede-gedean....toh tujuannya sewa bandwith sendiri itu juga buat menunjang kinerja temen-temen disini....
Toh yg buat mbayar bukan duitku....heheheee.....

Tapi dalam hati sempet ngerasa gondok saat ada isu-isu yg mempertanyakan pekerjaan ini....
Orang-orang yang gak tau tujuan dan rinciannya pekerjaan ini malah bikin berita-berita yang memojokkan.....
Huuuhhh....bikin dongkol aja....tapi ini kali yg dinamakan ujian pekerjaan....
Sepanjang benar, aq mah tenang-tenang aza.....
Ibarat peribahasa "orang menggonggong, gw cuek ajah.."

Semoga aja pekerjaan ini bisa berjalan lancar dan sesuai harapan....
Amin.....

22 February 2010

Happy Ending Prajabatan 2010



ppufffhhh....akhirnya slesei sudah diklat prajabatan kmaren...
dari tgl 25 januari - 16 februari 2010 ditempa di kawah candradimuka Badan Diklat Cilacap...

17 hari...98 peserta...1 diklat....
alhamdulillah semuanya LULUSSSSS....!!!!!!!!
meski dihiasi dgn aneka rasa...
dari rasa ngantuk saat menerima pelajaran....
rasa capek saat kudu piket...
rasa pegel saat habis outbond dan kesamaptaan...
sampai rasa coklat dan rasa duren....hehehee...
tapi itu semua gak bikin kita menyerah menghadapi tantangan diklat...
justru itu semua menjadi doping penguat kita buat nyelesein diklat...
kebersamaan, persaudaraan, persamaan dan ikatan batin yang terbentuk pelan-pelan diantara kami, menjadikan kami sebuah ikatan keluarga yg solid dan tangguh skaligus kompak...
sedih, lara, duka, senang, riang, gembira kita jalani bersama....
sesulit apapun rintangan...
setangguh apapun hambatan...
serumit apapun cobaan yg datang saat diklat...
bisa kita atasi bersama berkat 1 hal...KEBERSAMAAN....
dan itu juga yg masih bisa kita rasakan disaat sekarang ini kami harus kembali bertugas di instansi masing-masing...

bahkan sampai siang ini, masih saja masuk sms dari sahabat-sahabatku alumni diklat prajabatan...
mulai dari hanya sekedar ucapan selamat pagi...sampai gurauan "duduk siappp..grakk..!!!"...
hahahahahahaaaaa......jadi teringat suasana di kampus diklat...

sahabat-sahabatku....walau kini kita sudah berpisah...
tapi kenangan indah bersamamu akan selalu tersimpan dalam lubuk sanubari ini...
semoga Allah SWT mempererat ukhuwah kita semua...
dan karir kita pun menjadi lebih baik...
amin.....


23 January 2010

Persiapan Jelang Diklat Prajabatan

Senin, 25 Januari 2010 besok aq udah mulai Diklat Prajabatan. Ternyata banyak juga yg kudu dipersiapken dan semuanya butuh biaya yg gak sedikit.

Bayangin aja....utk diklat yg cuma 21 hari itu aq mesti bikin baju lengan panjang (kemeja) putih 4 biji plus celana panjang hitam 3 biji. gimana mau gak bikin hla wong cari2 di toko seantero kota cilacap gak ada yg muat di big body aq. hahahahahahaaaaa...... akhirnya kudu ngeluarin extra money lebih dari 400rb buat beli kain & ongkos jahit.

Udah gitu kudu cari dasi hitam....problemnya sama kaya baju.... gak ada yg muat & pendek2.... dudut neh kalo kudu pake yg item... sebenernya aq sih punya sendiri, cuma warnanya bukan item polos tapi item motif... akhirnya beli deh dasi walo (menurutku) kependekan....

Penderitaan tak cukup sampe disini... saatnya cari celana olahraga alias training....lagi2 masalahnya sama.... GAK ADA YG MUAAATTTT......gggrrrrrrr.... untung nemu solusi....cepet2 deh lari ke "Hidup Baru" pesen & bikin training kilat khusus 1 hari jadi.... untungnya doi bisa bikin cepet dgn banderol total 120rb....

apakah masalah udah slesei ??? belooommmm.... msh ada yg harus dibeli lagi.... kaos dalam dan "CD".....wkakakakakakkkk.... kalo yg ini mah gak usah pesen.... tinggal tancap ke Rita Dept.Store dan Abadi Makmur Dept.Store.... disana banyak kaos dalam dan CD dgn size yg cukup besar.... emangt sih harganya diatas harga ukuran normal... tapi daripada gak ada....hehehehee....

semua pengorbanan itu emang harus aq lakukan demi status kepegawaianku... demi menghilangkan huruf "C" dari serangkaian huruf "CPNS" menjadi "PNS" saja... yg penting skrg tinggal menyiapkan fisik dan mental... mudah2an semuanya bisa berjalan lancar dan tanpa kendala... amin...

mohon doanya ya temen2..... SEMANGAAAAATTTT.....!!!!!!!!




Kisah Romantis

Seorang teman mengirim imel yg isinya saya rasa patut kita jadikan bahan renungan tentang makna "Cinta".
Berikut kisah romantis tersebut....

======================================

Suami saya adalah seorang yang sederhana, saya Mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di Bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus.

Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. "Mengapa?", tanya suami saya dengan terkejut. "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan," jawab saya. Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya,tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?" Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,"Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya,saya akan merubah pikiran saya. "Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu,kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?" Dia termenung dan akhirnya berkata,"Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ......
"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya. "Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal.
"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."
"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku,dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu." "Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."
"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati.. Karena,saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir."Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya,mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur,tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya."Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal dirumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawaban kamu." Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu,dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".